Rabu, 06 Maret 2013

Studi Amfibi Menunjukkan Bagaimana Keanekaragaman Hayati Meredam Wabah Penyakit


Semakin beragam spesies amfibi yang hidup dalam sebuah kolam, semakin kuat perlindungan komunitas katak, kodok dan salamander dalam melawan infeksi parasit yang dapat menyebabkan kecacatan, termasuk pertumbuhan kaki ekstra, demikian hasil temuan dari studi terbaru University of Colorado Boulder.
Temuan yang dipublikasikan dalam jurnal Nature edisi 14 Februari ini, mendukung gagasan bahwa keanekaragaman hayati yang lebih besar dalam ekosistem berskala besar, seperti hutan atau padang rumput, juga dapat memberi pertahanan yang lebih besar terhadap penyakit, termasuk yang juga menyerang manusia. Sebagai contoh, sejumlah besar spesies mamalia di suatu wilayah dapat mengurangi kasus penyakit Lyme, sementara sejumlah besar spesies burung dapat memperlambat penyebaran virus West Nile.
“Bagaimana keanekaragaman hayati mempengaruhi risiko penyakit menular, termasuk pada manusia dan satwa liar, telah menjadi pertanyaan yang kian penting,” kata Pieter Johnson, asisten profesor di Departemen Ekologi dan Evolusi Biologi, penulis utama dalam studi tersebut, “Namun pada kenyataannya, untuk menguji secara solid hubungan-hubungan ini dengan eksperimen yang realistis terbukti sangat menantang pada kebanyakan sistem.”
Para peneliti telah berupaya sebisa mungkin untuk merancang studi komprehensif yang bisa menerangi hubungan antara penularan penyakit dan jumlah spesies yang hidup dalam ekosistem yang kompleks. Sebagian dari masalahnya adalah sejumlah besar organisme yang perlu dijadikan sampel serta wilayah yang luas di mana organisme-organisme itu dapat berkeliaran.
 

 

Studi terbaru dari University of Colorado Boulder mengatasi masalah itu dengan meneliti sampel yang lebih mudah berupa ekosistem yang lebih kecil. Johnson bersama timnya mengunjungi ratusan kolam di California, mencatat jenis-jenis amfibi yang hidup di sana serta jumlah siput yang terinfeksi patogen Ribeiroia ondatrae. Siput merupakan inang perantara yang digunakan oleh parasit selama bagian dari siklus hidupnya.
“Salah satu tantangan besar dalam mempelajari hubungan keragaman-penyakit adalah mengumpulkan data dari sistem-sistem replikasi untuk membedakan pengaruh keragaman dari ‘ketidakjelasan’ latar belakangnya,” kata Johnson. “Dengan mengumpulkan data dari ratusan kolam beserta ribuan penghuni amfibinya, tim kami mampu memberi tes ketat pada hipotesis ini, yang mana terdapat relevansinya dengan berbagai sistem penyakit.”
Tim Johnson menopang berbagai ladang observasi dengan tes laboratorium yang dirancang untuk mengukur seberapa rentan masing-masing spesies amfibi terhadap infeksi, juga dengan menciptakan replika kolam menggunakan bak plastik besar berisi berudu yang terkena sejumlah parasit. Semua eksperimen menceritakan kisah yang sama, kata Johnson. Keanekaragaman hayati yang lebih besar berhasil mengurangi jumlah infeksi amfibi dan jumlah katak yang cacat.
Para peneliti menghabiskan tiga tahun untuk mengumpulkan 345 sampel lahan basah dan mencatat berbagai kecacatan – meliputi kaki belakang yang hilang, cacat atau bertumbuh ekstra – yang disebabkan infeksi parasit pada 24.215 amfibi. Mereka juga membuat katalog yang terdiri dari 17.516 ekor siput. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kolam yang dihuni setengah lusin spesies amfibi mengalami penurunan transmisi parasit sebesar 78 persen dibandingkan dengan kolam hanya dihuni satu spesies amfibi. Tim peneliti juga membuat percobaan di laboratorium dan di luar rumah dengan menggunakan 40 kolam buatan, masing-masing diisi dengan 60 amfibi dan 5 ribu parasit.
Alasan menurunnya infeksi parasit dengan meningkatnya keanekaragaman hayati mungkin terkait dengan fakta bahwa kolam yang ditambahi dengan spesies amfibi berada dalam suatu pola yang bisa diprediksi; spesies yang pertama muncul menjadi yang paling rentan terhadap infeksi, dan spesies yang muncul belakangan menjadi yang paling tahan terhadap infeksi. Sebagai contoh, tim peneliti menemukan bahwa di kolam yang hanya berisi satu jenis amfibi, yaitu katak paduan suara Pasifik, makhluk yang mampu mereproduksi dengan cepat dan memenuhi habitat lahan basah dalam waktu singkat, ternyata juga sangat rentan terhadap infeksi dan kecacatan yang disebabkan parasit.
Di sisi lain, salamander tiger California biasanya menjadi salah satu spesies terakhir yang ditambahkan ke dalam populasi kolam dan juga salah satu yang paling resisten terhadap infeksi parasit. Dengan demikian, dalam sebuah kolam yang keanekaragaman hayatinya lebih besar, parasit berpeluang lebih tinggi untuk berhadapan dengan amfibi yang tahan infeksi, menurunkan keseluruhan tingkat keberhasilan penularan antara siput yang terinfeksi dan amfibi.
Pola yang sama ini – komunitas yang kurang beragam, terdiri dari spesies yang lebih rentan infeksi penyakit – mungkin berperan pula dalam ekosistem yang lebih kompleks, kata Johnson. Itu karena spesies yang menyebar cepat ke dalam ekosistem tampaknya menukarkan kemampuan bereproduksi cepatnya dengan kemampuan mengembangkan ketahanan terhadap penyakit.
“Penelitian ini mencapai kesimpulan yang mengejutkan bahwa keseluruhan spesies dalam suatu komunitas mempengaruhi kerentanan terhadap penyakit,” kata Doug Levey, direktur program di Division of Environmental Biology, National Science Foundation, yang membantu mendanai penelitian. “Keanekaragaman hayati itu penting.”

Seekor katak macan tutul utara mengalami cacat pada anggota tubuhnya,
 suatu penyakit yang disebabkan parasit cacing pipih.




Studi besar sebelumnya juga memperkuat adanya hubungan antara kecacatan pada katak dan infeksi parasit. Dimulai pada pertengahan 1990-an, muncul laporan-laporan tentang katak berkaki ekstra, kaki yang hilang atau cacat, sempat menarik perhatian luas di berbagai media serta memotivasi para ilmuwan untuk mencari tahu penyebabnya. Johnson merupakan salah satu peneliti yang menemukan bukti adanya hubungan antara infeksi Ribeiroia dan kecacatan katak, meskipun kemunculannya dalam laporan deformasi, dan penyebab yang mendasarinya, tetap kontroversial.
Meski studi terbaru ini memiliki beberapa implikasi di balik infeksi parasit pada amfibi, tidak berarti peningkatan keanekaragaman hayati selalu menghasilkan penurunan penyakit, Johnson memperingatkan. Faktor-faktor lain juga mempengaruhi tingkat penularan penyakit. Sebagai contoh, sejumlah besar nyamuk yang menetas pada tahun tertentu akan meningkatkan resiko penularan virus West Nile, bahkan sekalipun sudah terjadi peningkatan keanekaragaman populasi burung. Burung bertindak sebagai “inang” untuk virus West Nile, dan kapanpun bisa menjadi penampung patogen tanpa ada efek sakit serta menyalurkan patogen tersebut ke nyamuk.
“Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa keragaman yang lebih tinggi mengurangi tingkat keberhasilan patogen untuk berpindah-pindah di antara inang,” jelas Johnson, “Meskipun demikian, jika infeksi mengalami tekanan yang tinggi, misalnya dalam satu tahun berkelimpahan vektor, masih akan ada risiko penyakit yang signifikan; keanekaragaman hayati hanya akan berfungsi meredam keberhasilan penularan.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar