Rabu, 06 Maret 2013

Koneksi Otak-ke-otak: Dua Tikus Berbagi Informasi Jarak Jauh Lewat Jaringan Otak



Eksperimen ini menunjukkan kemampuan untuk membangun jejaring komunikasi langsung yang rumit di antara otak tikus, di mana otak decoder bekerja sebagai perangkat pola-pengenalan."

Untuk pertama kalinya para ilmuwan mampu secara elektronis menghubungkan dua otak dari sepasang tikus, memungkinkan kedua tikus ini berkomunikasi secara langsung untuk memecahkan teka-teki perilaku sederhana. Pada percobaan selanjutnya, komunikasi bahkan tetap terhubung meski kedua tikus terpisah sejauh ribuan mil – satu di Durham, New York, dan yang lain di Natal, Brasil.
Hasil dari studi ini menunjukkan potensi masa depan dalam rangka menghubungkan beberapa otak untuk membentuk apa yang yang disebut tim peneliti sebagai “komputer organik,” memungkinkan terjadinya aktivitas berbagi informasi sensorik dan motorik di antara kelompok hewan. Studi ini dipublikasikan dalam jurnal Scientific Reports, 28 Februari 2013.
“Studi kami dengan antarmuka otak-mesin sebelumnya telah meyakinkan kami bahwa otak tikus jauh lebih ‘plastik’ dari yang kami duga sebelumnya,” tutur Miguel Nicolelis, MD, PhD, profesor neurobiologi di Duke University School of Medicine, yang menjadi penulis utama dalam studi, “Dalam percobaan-percobaan itu, otak tikus mampu dengan mudah beradaptasi dalam menerima input dari perangkat luar tubuh dan bahkan belajar cara memproses cahaya kasat mata inframerah yang dihasilkan dari sensor buatan. Maka, yang jadi pertanyaan kami adalah, ‘jika otak bisa mengasimilasi sinyal dari sensor buatan, apakah otak juga bisa menyerap input informasi dari sensor yang berasal dari tubuh yang berbeda?’”
Untuk menguji hipotesis ini, para peneliti memulai dengan melatih sepasang tikus untuk memecahkan masalah sederhana: menekan tombol yang tepat jika lampu indikatornya menyala. Untuk pilihan yang tepat, tikus akan menerima imbalan berupa seteguk air. Mereka selanjutnya menghubungkan otak kedua tikus dengan array mikroelektroda yang disusupkan ke dalam area korteks pengolah informasi motorik.
Salah satu dari dua tikus ditunjuk sebagai hewan “encoder”. Hewan ini menerima isyarat visual yang memberi petunjuk tombol mana yang harus ditekan. Jika tikus encoder ini menekan tombol yang tepat, sampel aktivitas otak yang mengkodekan keputusan perilaku lantas diterjemahkan ke dalam pola stimulasi listrik untuk kemudian disampaikan secara langsung ke otak tikus kedua, atau hewan “decoder”.
Dua ekor tikus, encoder dan decoder, menjalani uji coba dalam memecahkan masalah sederhana. Decoder diharuskan menekan tombol yang tepat berdasarkan informasi yang disampaikan encoder melalui jaringan otak-ke-otak. (Kredit: Duke University)
Di ruang terpisah, tikus decoder dihadapkan pada tombol-tombol yang sama, namun tidak menerima isyarat visual sebagai pemandunya untuk memilih. Maka, untuk dapat menentukan tombol yang tepat, tikus decoder harus bergantung pada isyarat yang ditransmisikan dari encoder melalui antarmuka otak-ke-otak.
Uji coba dilakukan untuk menentukan seberapa baik hewan decoder bisa mengolah input otak dari tikus encoder agar bisa memilih tombol yang benar. Hasilnya, tikus decoder mencapai tingkat keberhasilan maksimum sekitar 70 persen, hanya sedikit di bawah perkiraan awal sebesar 78 persen berdasarkan tingkat keberhasilan pengiriman sinyal langsung ke otak tikus decoder.
Untuk memperoleh hasil berdasarkan perilaku kedua tikus, maka komunikasi yang disampaikan lewat antarmuka otak-ke-otak ini bersifat dua-arah. Misalnya, tikus encoder tidak akan menerima imbalan penuh jika tikus decoder membuat pilihan yang salah. Hasil dari keadaan darurat yang ganjil ini menciptakan pembentukan “kolaborasi perilaku” di antara kedua tikus.
“Kami melihat, saat tikus decoder melakukan kesalahan, tikus encoder pada dasarnya mengubah fungsi otak maupun perilakunya untuk membuat komunikasi menjadi lebih mudah bagi pasangannya dalam menentukan pilihan tepat,” jelas Nicolelis, “Encoder meningkatkan rasio signal-to-noise pada aktivitas otak yang mewakili keputusannya, sehingga sinyal menjadi lebih jelas dan lebih mudah untuk dideteksi. Dan itu menghasilkan sebuah keputusan yang lebih cepat dan lebih jelas dalam memilih tombol yang tepat untuk ditekan. Setiap kali encoder menciptakan adaptasi-adaptasi tersebut, decoder menjadi lebih sering memperoleh keputusan tepat, sehingga mereka berdua mendapat imbalan yang lebih baik.”
Pada percobaan kedua, para peneliti melatih beberapa pasang tikus untuk membedakan antara lubang sempit dan lebar, namun membedakannya, tikus hanya bisa mendeteksinya dengan kumis mereka. Jika lubangnya sempit, mereka diajar menyodokkan hidung pada dek sebelah sisi kiri untuk menerima imbalan; dan jika lubangnya lebar, mereka harus menyodok ke sisi kanan.
Decoder dilatih mengasosiasikan pulsa stimulasi sebagai sodokan ke kiri untuk pilihan yang tepat, dan jika tak ada pulsa maka diartikan sodokan ke kanan sebagai pilihan yang benar. Selama percobaan, di mana encoder mendeteksi lubang lebar dan mentransmisikan pilihannya pada decoder, decoder meraih tingkat keberhasilan sekitar 65 persen, jauh di atas tingkat kebetulan.
Untuk menguji seberapa jauh batas transmisi komunikasi otak-ke-otak ini, para peneliti menempatkan seekor tikus encoder di Brasil, bertempat di Edmond and Lily Safra International Institute of Neuroscience of Natal (ELS-IINN), lalu mentransmisikan sinyal otaknya melalui Internet ke pada tikus decoder yang berlokasi di Durham, NC. Jarak ternyata tak membuat hasilnya berubah, kedua tikus masih tetap bisa bekerja sama pada tugas diskriminasi taktil.
“Jadi, meskipun hewan-hewan ini berada di benua yang berbeda, dengan menghasilkan transmisi bising dan penundaan sinyal, mereka tetap bisa berkomunikasi,” kata Miguel Pais-Vieira, PhD, penulis pertama studi, “Ini memberitahu kita kemungkinan untuk bisa menciptakan jaringan otak hewan-hewan yang didistribusikan pada lokasi-lokasi yang berbeda.”
Nicolelis menambahkan, “Eksperimen ini menunjukkan kemampuan untuk membangun jejaring komunikasi langsung yang rumit di antara otak tikus, di mana otak decoder bekerja sebagai perangkat pola-pengenalan. Jadi pada dasarnya, kami menciptakan sebuah komputer organik yang memecahkan teka-teki.”
“Tapi dalam kasus ini, bukan kami yang memasukkan perintah, melainkan hanya berupa sinyal yang mewakili keputusan dari encoder, lalu diteruskan ke otak decoder yang tengah mencari cara memecahkan teka-teki. Jadi, yang kami ciptakan adalah sebuah sistem saraf pusat tunggal yang terdiri dari dua otak tikus,” tegas Nicolelis. Teorinya, sistem seperti ini tidak hanya terbatas pada sepasang otak, melainkan dapat mencakup jaringan beberapa otak, atau disebut “jaring-otak.” Para peneliti Duke University dan ELS-IINN kini bekerja sama pada percobaan untuk menghubungkan beberapa hewan agar secara kooperatif bisa menyelesaikan tugas-tugas perilaku yang lebih kompleks.
“Kami tak bisa memprediksi jenis sifat apa saja akan muncul saat hewan-hewan mulai berinteraksi sebagai bagian dari satu jaring-otak. Secara teori, Anda bisa membayangkan bahwa sebuah kombinasi dari beberapa otak mampu memberi solusi yang tidak bisa dicapai sendiri oleh hanya satu individu,” lanjut Nicolelis, “Sebuah koneksi bahkan mungkin mengindikasikan bahwa satu hewan akan menyertakan rasa “ego” hewan lainnya.”
“Faktanya, penelitian kami pada korteks sensorik dari tikus decoder dalam percobaan ini menunjukkan bahwa apa yang diwakilkan ke dalam korteks taktil pada otak tikus decoder tidak hanya kumisnya sendiri, tapi juga kumis tikus encoder. Kami mendeteksi neuron kortikal yang merespon kedua set kumis sekaligus, yang artinya tikus menciptakan perwakilan kedua dari tubuh kedua sebagai perwakilannya sendiri.” Studi dasar adaptasi semacam ini bisa mengarah ke bidang baru yang Nicolelis sebut sebagai “neurofisiologi interaksi sosial.”
Eksperimen yang kompleks semacam ini hanya bisa terlaksana dengan kemampuan laboratorium dalam merekam sinyal otak dari hampir 2.000 sel otak sekaligus. Dalam lima tahun ke depan, para peneliti berharap akan bisa merekam aktivitas listrik yang dihasilkan secara bersamaan dari 10 hingga 30 ribu neuron kortikal.
Perekaman otak dalam skala besar akan memungkinkan pengontrolan yang lebih akurat pada neuroprostheses motorik – seperti yang sedang dikembangkan oleh Walk Again Project – untuk memulihkan kontrol motorik pada orang lumpuh, jelas Nicolelis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar